Posted on : Bisnis Indonesia, 21 December 2017
HARIZUL AKBAR NAZWAR, B.Eng., M.Ec.Dev., MAPPI (Cert.)
(Certified Property Valuer & Real Estate Analyst at Amin, Nirwan, Alfiantori & Partners Valuation Firm)
Angka kekurangan (backlog) rumah di Indonesia tergolong tinggi. Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, tercatat hingga saat ini backlog perumahan di Indonesia mencapai angka 13,5 juta unit rumah. Angka ini menunjukkan bahwa terdapat 13,5 juta kelurga yang tidak memiliki hunian dan/atau hunian tetap. Bahkan data terbaru dari Perumnas menyebutkan bahwa terdapat peningkatan kebutuhan rumah sekitar 800.000 unit setiap tahun yang diakibatkan dari pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Disisi lain, supply rumah yang mampu dipenuhi pada segmen kelas perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) hanya 400.000 unit setiap tahunnya, dimana terdapat gap sebanyak 400.000 unit setiap tahunnya. Berdasarkan data dari BPS, DKI Jakarta adalah provinsi yang memiliki tingkat home ownership rate terendah yaitu hanya sebesar 51,09% kemudian Kepulauan Riau sebesar 67,67%.
Masalah agraria yang cukup mendesak salah satunya adalah distribusi lahan yang tidak merata yang berakibat pada timbulnya perumahan kumuh. Jakarta adalah contoh nyata dari tidak meratanya distribusi tanah. Telah menjadi pemandangan umum di Jakarta jika ditemukan permukiman kumuh yang lokasinya nyata-nyata dekat dengan bangunan pencakar langit seperti hotel berbintang lima. Hotel berbintang lima disewakan dengan tarif 3-4 juta per meter persegi yang idealnya diisi dengan 2 orang, sedangkan rumah-rumah yang berada di permukiman kumuh dengan luas bangunan 4×5 m diisi dengan jumlah penghuni 7-4 orang. Tentu fenomena seperti ini banyak memantik rasa keadilan sosial masyarakat terhadap urusan agraria.
Konsep bank tanah sesungguhnya bukan hal baru dalam konteks tata ruang kota. Kebijakan bank tanah pertama kali dilakukan di St. Louis, yang merupakan negara bagian Missouri, Amerika Serikat dengan nama St. Louis Land Reutilization Authority. Negara-negara eropa seperti Belanda, Swiss, Swedia dan beberapa negara lain juga ikut menerapkan kebijakan bank tanah. Sedangkan di Asia Tenggara, Singapura dan Thailand telah ikut menerapkan kebijakan bank tanah sejak beberapa tahun yang lalu. Konsep bank tanah dilatarbelakangi terhadap kesadaran pemerintah untuk mengatur tata ruang kota menjadi lebih baik, khususnya dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat di perkotaan seperti rumah tinggal, fasilitas umum, dan infrastruktur. Hal ini perlu dilakukan mengingat tanah adalah suatu barang yang tidak memiliki kemampuan untuk direproduksi sehingga ketersediaannya sangat terbatas disatu sisi, dan disisi lain kebutuhan manusia terhadap tanah semakin lama semakin tinggi. Oleh sebab itu, bank tanah diproyeksikan memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai land keeper, land warrantee, land purchaser, land distributor dan land management.
Pertanyaan selanjutnya adalah aset seperti apa yang dapat dihimpun menjadi bank tanah? Yang pertama adalah aset idle yang dimiliki BUMN. Kita tahu bahwa banyak sekali aset BUMN yang berstatus idle (tidak dimanfaatkan). Selain aset miliki BUMN, aset idle yang dimiliki departemen, lembaga/non lembaga pemerintahan, aset pemda di tiap-tiap daerah, serta aset tanah cadangan umum milik negara (TCUN) berpotensi besar untuk dihimpun sebagai stok bank tanah. Selain dengan cara-cara diatas, pemerintah juga dapat membeli tanah-tanah baru dengan menggunakan anggaran negara pada lokasi yang relevan dengan peruntukan lahan atau rencana tata ruang wilayah yang kelak akan digunakan sebagai perumahan, infrastruktur, atau fasilitas umum. Berdasarkan catatan penulis, setidaknya terdapat 23 ribu hektar tanah yang berstatus clean and clear di seluruh Indonesia. Bahkan, 12 ribu hektar dari total luas tanah tersebut berada di sekitar Jabodetabek. Tentu angka ini cukup fantastis apabila dapat digunakan secara maksimal untuk kepentingan rakyat.
Dengan cara-cara seperti ini pula diharapkan dapat meminimalisir praktik pembebasan tanah yang sering kali berujung konflik akibat ketidaksesuaian harga pembebasan tanah. Harus diakui bersama, kendala-kendala pembebasan tanah merupakan salah satu alasan utama pembangunan proyek infrastruktur dan sarana prasarana umum menjadi berlarut-larut dan tidak efisien.
Dalam konteks penyediaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), bank tanah merupakan salah satu solusi yang efektif. Permasalahan klasik dalam penyediaan perumahan untuk MBR adalah mahalnya harga tanah yang harus ditebus oleh developer baik developer swasta maupun developer milik pemerintah seperti Perumnas. Dengan harga tanah yang tinggi diberbagai daerah, developer membutuhkan modal yang tidak sedikit untuk bisa membeli tanah. Apalagi, harga jual perumahan untuk MBR harus mengikuti skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), dimana harga jual tersebut tidak boleh melebihi harga jual yang sudah diatur oleh pemerintah. Oleh sebab itu, pertumbuhan perumahan sederhana untuk MBR cenderung lambat dan tidak progresif. Sedangkan disisi lain, tingkat demand perumahan bagi MBR terus meningkat signifikan.
Tanah yang telah diinventarisir oleh bank tanah kelak dapat dimanfaatkan dan dikelola oleh pihak-pihak yang ingin melakukan pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan kawasan permukiman. Sebagai contoh, pihak developer dapat mengajukan proposal sebagai syarat diberikannya akses pengelolaan tanah yang dimiliki oleh bank tanah. Dengan cara ini diharapkan permasalahan terkait penyediaan tanah untuk perumahan MBR dapat teratasi dengan efektif. Pun dalam merespon berbagai macam tantangan terkait kebutuhan perumahan saat ini. Seperti konsep perumahan dengan down payment 0% yang digagas oleh pemerintahan DKI dibawah Anies-Sandi, dengan adanya kebijakan bank tanah sesungguhnya kebijakan ini akan jauh lebih mudah untuk direalisasikan tanpa mempertimbangkan beban biaya pembebasan tanah.
Menjadi sangat jelas bahwa keberadaan bank tanah merupakan hal yang sangat dibutuhkan, apalagi dalam rangka reforma agraria yang menjadi salah satu platform utama kebijakan Pemerintah Jokowi-Jk. Bank tanah diharapkan dapat menjadi solusi permanen dalam mengendalikan keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan tanah, mengendalikan harga tanah yang wajar, serta sebagai upaya untuk dapat memadukan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tanah.